Dari Takut Dibully hingga Mimpi Jadi Menteri

Artikel
19 Jul 2021 - 02:00
Share

Jam masih menunjukkan pukul 09.00 pagi. Tapi mata Fariz Aulia Irfandi sudah fokus dengan angka-angka di layar komputernya. Ia adalah satu dari sekian analis pengelola keuangan di Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). Lebih spesifik, pria asal Kelapa Dua, Jakarta Timur, itu menggarap soal belanja pegawai, seperti proses pembayaran gaji, uang makan serta lembur, dan lain sebagainya.


Saat rasa haus melanda, Fariz akan lekas mengayuh kursi rodanya menuju dispenser terdekat. Sesekali dia juga berbincang dengan rekan di kanan kirinya. Kondisi disabilitas nyaris tak menghambat Fariz dalam melalui rutinitas di kantor.


“Memang pekerjaannya dari lingkungan KASN ini membantu. Enggak ada yang membeda-bedakan. Walaupun saya berbeda, (tetap) dibantu agar setara dengan yang lain,” kata Fariz.


Meski begitu, kepada Humas KASN, Fariz berkisah, rasa takut sebenarnya sempat menghantui dirinya kala memutuskan hendak menjadi aparatur sipil negara (ASN). Tepatnya saat, pelaksanaan seleksi kemampuan bidang (SKB) di kantor Badan Kepegawaian Negara (BKN), Fariz bertanya kepada psikolog yang menguji di depannya.


“Sempat takut juga sebenarnya. Apakah dibeda-bedain banget. Atau kekurangan itu jadi hambatan yang mengganggu lingkungan kerja,” ungkap Fariz.


“Katanya di lingkungan ASN tetap ada bully,” sambungnya.


Rasa takut tersebut nyatanya hanya lewat selintas. Rasa percaya diri pria kelahirann 1993 itu kembali terbangun perlahan. Ia mengaku, saat masih di usia kanak-kanak, bully-an kerap datang dari sekitar. Dada Fariz terasa sesak saat orang-orang memandangnya dengan tatapan berbeda. Namun, itu semua perlahan sirna terhapus waktu.


“Karena sudah disabilitas dari lahir jadi sudah tahu bakal menghadapi seperti ini. Waktu masih kecil kan kita masih labil, masih belum bisa menerima perlakuan orang ke kita. Nah, kalau sekarang ini ya kayak bakalan ngadepin yang kayak gini lagi, jadi mentalnya sudah kuat,” terang lulusan akuntansi Universitas Trilogi itu.
 

Sedari lahir Fariz telah mengidap spina bifida dan hidrosefalus. Spina bifida berarti kelainan bawaan yang terjadi ditandai dengan tulang belakang dan saraf tulang belakang tidak terbentuk secara sempurna. Hal itulah yang membuat Fariz harus dibantu dengan kursi roda. Sementara, hidrosefalus adalah penumpukan cairan di rongga otak. Beruntung, keajaiban menghampiri Fariz hingga akhirnya dia mampu lolos dari bahaya hidrosefalus.


Kini langkah Fariz telah mantap menjadi ASN. Harapannya, dia mampu membalikkan stigma khalayak soal ASN selama ini. Dengan adanya sistem merit peluang karier ASN ke depannya akan semakin terbuka. Di samping itu, anggapan bahwa ASN hanya bisa bermalas-malasan, maka secepat mungkin akan dilibas dengan penerapan sistem merit yang berbasis kinerja.


Dengan harapan mulia itu, Fariz bercita-cita kelak dapat menjadi Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN RB). “Pengin jadi MenPAN RB karena pengin merubah stigma PNS secara umum bukan hanya untuk yang disabilitas,” ungkap bungsu dari tiga bersaudara itu.


“Kalau sebagai disabilitas, banyak yang beranggapan negatif. Itu kita harus membuktikan dulu dari hasil kerja kita sebenarnya. Gimana hasil kerja kita bisa sesuai dengan arahan. Terus bagaimana kita bisa menghilangkan stigma kalau disabilitas itu tidak bisa apa-apa,” urai Fariz.


“Jadi kita harus membuktikan dulu. Habis itu, dari hasil kerja kan orang bisa melihat layak atau enggaknya,” imbuh dia.


Fariz juga berpesan, untuk teman penyandang disabilitas di Indonesia untuk jangan terlalu larut melihat kekurangan diri sendiri. Lebih baik keresahan yang tumbuh dalam diri, dikeluarkan menjadi hal-hal yang lebih baik.


“Kita harus maju. Kita harus nyoba sesuatu yang baru. Kita harus yakin. Kalau ada yang bikin penasaran, ikutin aja dulu. Jangan keresahan itu menjadi penahan diri,” Fariz menutup. (mpw/nqa)


Tulisan ini merupakan konten dari Newsletter Meritokrasi KASN. Selengkapnya, Anda dapat mengakses newsletter pada tautan ini