PENGALAMAN MELAKSANAKAN SELEKSI TERBUKA UNTUK ASN

Berita
07 May 2016 - 01:45
Share

Selection Right” 

Rabu, 3 Mei 2017 di Hotel Four Points Jakarta

Uraian di bawah ini adalah usaha saya untuk bercerita tentang pengalaman dan kesan berpartisipasi sebagai anggota tim seleksi terbuka untuk jabatan Eselon I pada pemerintahan SBY sebelum UU ASN disahkan. Pada waktu itu resistensi terhadap RUU ASN sangat besar, terutama dari jajaran birokrasi itu sendiri. Hal itulah yang mungkin menyebabkan Pak Taufiq Effendi seusai menjabat Menpan dan RB kemudian mengambil prakarsa untuk mengubah RUU ASN menjadi RUU inisiatif DPR ketika beliau menjadi anggota DPR.

Pak Azwar Abubakar selaku Menpan RB kemudian mengambil inisiatif untuk melakukan uji coba seleksi terbuka bagi jabatan-jabatan Eselon I di rumpun PAN-RB, termasuk LAN, BKN dan BPKP. Kemudian juga Depdagri untuk jabatan Sekjen.

Uji coba tersebut meliputi seluruh siklus seleksi yang sekarang sudah menjadi praktek yang sah dengan telah diundangkannya UU ASN serta Peraturan Pemerintah sebagai instrumen pelaksanaannya. Uji coba tersebut amat berguna dalam menyusun implementasi UU ASN dan juga amat berguna untuk meyakinkan Presiden SBY untuk memberikan dukungan terhadap pengesahan RUU ASN dan menghentikan kontroversi tentang RUU ASN di lingkungan birokrasi pemerintahan.

Ada beberapa hal yang menarik untuk di simak menjadi “Lessons Learned” dari pengalaman kami-kami yang waktu itu diberi tugas sebagai Panitia Seleksi, yaitu :

  1. Seleksi diawali dengan pengumuman melalui situs web Menpan RB, dan segera mengundang minat para pelamar dari berbagai instansi yang kemudian disaring sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang sifatnya administratif. Yang menarik adalah terdapatnya fenomena bahwa banyak pelamar yang mempunyai sifat sebagai “Job seekers” (pencari kerja) yang tentunya tersaring dengan sendirinya. Tetapi proses penyaringan itu sendiri kemudian memakan energi dan waktu. Dari pengalaman itu terungkap adanya tuntutan untuk memperkuat kriteria administratif dan sampai sekarang pun kelihatannya proses penyempurnaan masih perlu dilakukan.
  2. Fase berikutnya adalah proses seleksi itu sendiri, yang terdiri dari asesmen oleh “Personnel Assessment Center” (PAC) yang terakreditasi, dan memiliki pengalaman melakukan asesmen di berbagai lembaga pemerintahan, BUMN maupun perusahaan swasta. Yang berikutnya adalah penulisan makalah dan wawancara. Seingat saya, semua yang ikut asesmen mengikuti proses pembuatan makalah dan wawancara. Dari ketiga proses itu terdapat kesan bahwa terkadang ada ketidaksesuaian antara ketiga proses tadi. Terdapat kasus dimana seorang peserta seleksi yang menurut pengetahuan sementara anggota panitia seleksi seharusnya menjadi salah seorang kandidat terbaik, namun hasil asesmennya tidak mendukung. Kasus sebaliknya juga ada. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa seluruh daur seleksi tidaklah “fool proof”, masih diperlukan upaya lain untuk mengecek reputasi seseorang, dan tentunya diperlukan metode tersendiri untuk melakukannya. Demikian juga walaupun asesmen secara keilmuan adalah pendekatan psikologi terapan yang absah, tetap saja asesmen adalah sekedar “snapshot”, atau “moment opname” yang tidak bisa 100% akurat. Belakang ada pengakuan dari salah satu PAC ternama bahwa akurasi asesmen maksimal adalah 70%.
  3. Tentang penulisan makalah, para peserta seleksi diharuskan menulis “policy brief” atau naskah kebijakan singkat dengan judul tertentu dan diberi waktu penulisan 2 jam dengan mengandalkan pengetahuan seketika tanpa referensi. Panitia seleksi berasumsi bahwa kandidat Eselon I tentu mengetahui apa yang dimaksud dengan “policy brief”. Ternyata hanya peserta terbaik yang memahami cara penulisan “policy brief”. Itupun terdapat indikasi umum bahwa persepsi peserta pada umumnya melihat jabatan berikut sebagai kelanjutan linear dari jabatan sebelumnya. Pola pikir cenderung teknis dan vertikal serta kurang inovatif. Padahal seorang pejabat tinggi dituntut untuk mampu berfikir dan berfokus secara horizontal. Dari situ terlihat perlunya pola karir yang menciptakan ragam pengalaman dalam melaksanakan tugas-tugas yang berbeda secara sukses. Dari penulisan makalah terlihat juga lemahnya korelasi antara tingkat pendidikan formal dengan kemampuan konseptual seseorang.
  4. Dalam proses wawancara, peserta dibebaskan untuk berbicara lisan atau dibantu oleh perangkat presentasi. Peserta yang sepenuhnya berbicara lisan ternyata dapat mempunyai daya artikulasi yang lebih baik dan lebih komunikatif dibandingkan dengan yang menggunakan perangkat presentasi. Dari pengalaman wawancara terdapat juga indikasi bahwa peserta yang mempunyai pengalaman dalam organisasi kemasyarakatan cenderung lebih fasih berkomunikasi dibandingkan dengan mereka yang “birokrat tulen”. Dari situ bisa disimpulkan bahwa perjalanan hidup dimana seseorang mengalami keragaman pengalaman dan pengkayaan karir cenderung lebih tepat untuk menjadi pejabat senior di pemerintahan (“Managing Diversity” menjadi amat penting). Dengan demikian diperlukan perencanaan karir yang memberikan kesempatan bagi seseorang untuk menempuh jalan hidupnya sebagai ASN untuk menimba pengalaman di berbagai daerah maupun meliputi berbagai kompetensi.
  5. Bagi anggota pansel, sosok Menteri sebagai pengendali proses seleksi amat menentukan. Dari pengalaman saya, Pak Azwar Abubakar adalah seorang teladan. Beliau bersikap lugas dan komunikatif sekaligus, dan tidak mempunyai agenda diluar apa yang menjadi keharusan. Bisa dibayangkan kerancuan dan inkonsistensi yang terjadi sekiranya sang pengendali mempunyai “vested interest” melalui seleksi pejabat.
  6. Tentang anggota pansel sendiri, persyaratan yang perlu adalah, pertama cukup mempunyai pengalaman dan reputasi sebagai penyelenggara organisasi baik di dalam maupun diluar pemerintahan. Sekali lagi “managing diversity” menjadi aset pribadi yang penting. Yang berikut adalah bahwa anggota Pansel harus bebas dari kepentingan untuk menghalangi atau meloloskan seseorang. Saya pernah diminta untuk menjadi anggota Pansel untuk suatu lembaga tertentu, tetapi saya tolak karena salah seorang yang ikut seleksi adalah seorang kawan dekat dan sudah bisa dipastikan ada risiko “bias” dalam penilaian nantinya. Jadi kesadaran tentang konflik kepentingan adalah juga esensial.
  7. Singkat kata UU ASN adalah instrumen yang vital untuk menegakkan meritokrasi. Namun integritas dari sistim perlu dijaga dengan ketat dan gigih. Karena Aparatur Sipil Negara adalah instrumen pemerintahan yang menghadapi godaan kekuasaan dan korupsi, maka UU ASN adalah pengaman terhadap berbagai distorsi yang merugikan kepentingan nasional dan kepentingan publik. Dengan demikian, maka integritas ASN juga memerlukan “external safeguards” termasuk pengawasan publik serta lembaga penegakkan hukum dan lembaga justisial. Tidak mudah melakukannya, karena seperti dikatakan oleh Lord Acton “power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”.
  8. Akhir kata UU ASN perlu dilengkapi dan disempurnakan aturan-aturan pelaksanaannya dari waktu ke waktu, sehingga wujud ASN sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa dalam melayani kepentingan umum secara profesional, transparan, akuntabel dan berintegritas bisa menjadi kenyataan.

 

Jakarta, 3 Mei 2017

 

                                                                                                                                                                                                     Sarwono Kusumaatmadja