Tenaga Pendidik dan Kampus Wajib Jaga Nilai Kebenaran, Tidak Partisan, dan Tidak Berpihak Warna Politik

Siaran Pers
27 Jul 2023 - 02:28
Share

Komisioner KASN Pengawasan Bidang Penerapan Nilai Dasar, Kode Etik, Kode Perilaku dan Netralitas ASN (NKKNet) Arie Budhiman, menyebut, berdasarkan hasil pengawasan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) periode 2020-2023, sebanyak 1.596 ASN terbukti melanggar dengan 533 ASN (26,5%) di antaranya adalah ASN dengan jabatan fungsional. Kemudian, dari total 533 ASN pelanggar pada jabatan fungsional, sejumlah 373 ASN (70%) di antaranya berprofesi sebagai tenaga pendidik, yang terdiri atas dosen dan guru. Adapun jenis pelanggaran yang banyak dilakukan adalah kampanye/sosialisasi media sosial (posting/comment/share/like) (34,9%); mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan (27,8%); foto bersama bakal calon/pasangan calon (14,5%); dan menjadi peserta kampanye dengan memakai atribut partai/atribut PNS/tanpa atribut (4,5%). Hal tersebut disampaikan dalam seri lanjutan webinar netralitas ASN bertajuk “Mencegah Politisasi Sekolah dan Kampus Dalam Pemilu dan Pemilihan tahun 2024", Kamis (27/7/2023).

Arie membeberkan, terdapat beberapa faktor yang mendorong guru dan dosen melakukan pelanggaran netralitas. Pertama, faktor ikatan persaudaraan antara guru dan dosen dengan calon peserta Pemilu dan Pemilihan. Kedua, adanya kepentingan pragmatis pada sebagian kalangan guru untuk berpindah ke jabatan struktural tertentu. 

“Sementara di kalangan dosen, ada keinginan untuk mendapatkan posisi pada struktural kampus atau jabatan lain yang tersedia di luar kampus, baik pada struktur pemerintahan maupun swasta.” Ujar Arie.

Lebih lanjut Komisioner menyampaikan, para dosen sepatutnya menjadikan keahlian yang dimiliki untuk menjadi sumber substansi gagasan dan pijakan kajian bagi para politisi sehingga siapapun yang menang, substansi gagasan akan diterjemahkan menjadi kebijakan publik. Oleh karena itu, dosen tidak perlu menjadi tim sukses politisi tertentu. “Para tenaga pendidik baik guru atau dosen tidak dibenarkan menjadi bagian dari dewan pakar atau tim pemenangan peserta pemilu dan pemilihan," tegasnya. 

Sementara itu, Inspektur IV Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), Subiyantoro, menyampaikan, telah berupaya membangun sistem pencegahan netralitas ASN. Kemendikbudristek akan membuat surat edaran menteri dan nantinya akan ditindaklanjuti dengan pembentukan satgas netralitas serta melaksanakan supervisi sebagai bentuk pembinaan. “Kami saat ini sudah membangun dan mensosialisasikan kanal-kanal pelaporan di lingkungan Kemendikbudristek sebagai komitmen menjaga netralitas ASN.” 

“Pengawasan yang kuat disertai dengan penetapan sanksi dan pencegahan menjadi kunci untuk memastikan Netralitas ASN pada Tahun Politik 2024, khususnya bagi ASN Tenaga Pendidik,” imbuhnya. 

Di sisi lain, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, Wawan Mas’ud, menyampaikan, pada konteks netralitas ASN di kampus, secara administratif kepegawaian ASN tentu tidak boleh memihak dan partisan. Akan tetapi, pada nilai kebenaran harus berpihak. “Peran kampus harus berpihak pada ilmu pengetahuan dan nilai kebenaran, bukan pada warna politik tertentu." 

Wawan melanjutkan, terdapat beberapa dampak dari kampus partisan dan berpihak ke kelompok politik tertentu, yaitu (1) mengurangi kebebasan akademik dan membatasi ruang diskusi; (2) posisi politik tertentu pimpinan kampus yang tidak merepresentasikan civitas akademika; (3) mereduksi kredibilitas kampus. 

“kewajiban moral kampus adalah fokus pada nilai kebenaran dan hasil diskusi kampus bisa menjadi referensi penyusunan kebijakan," tekan Wawan Mas’ud.

Kemudian, Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa Nur Agustyati, menegaskan, sekolah adalah tempat anak-anak mendapatkan pendidikan termasuk di dalamnya pendidikan politik. Jika sekolah dan kampus malah berpihak dalam politik praktis, kondisi tersebut tidaklah sehat. 

“Sekolah dan Kampus idealnya bisa memberikan pendidikan politik, seperti pentingnya partisipasi dalam pemilu, pendidikan kewarganegaraan, pendidikan pemilih, dan informasi pemilih. Bukan malah menjadi partisan,” ujar Khoirunnisa.

Jika dilihat dari persentase pemilih muda--pelajar SMA dan mahasiswa--dalam pemilu dan pemilihan 2024 yang berjumlah 52% dari total pemilih, pendidikan politik menjadi hal yang penting. “Tenaga pendidik dan kampus harus benar-benar bersikap netral, mengingat mereka adalah pihak yang berinteraksi secara langsung dengan para pemilih muda,” pungkas Khoirunnisa. (sm/nqa/mjh)